Arsip Blog

Rabu, 27 April 2016

Makalah LARANGAN PERKAWINAN, PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

LARANGAN PERKAWINAN, PENCEGAHAN
DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

I.         Larangan Perkawinan

Larangan perkawinan dalam hukum perkawinan Islam ada dua macam, yaitu larangan selama-lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan larangan sementara pasal 40 sampai pasal 44 KHI. Hal itu akan diuraikan sebagai berikut:

A.    Larangan perkawinan selama-lamanya

Larangan perkawinan bagi seorang pria dengan seorang wanita selama-lamanya atau wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang pria selama-lamanya mempunyai beberapa sebab[1]. Pasal 39 KHI mengungkapkan larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita disebabkan:

1.      Karena pertalian nasab:

a.       Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
b.      Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
c.       Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannnya.

2.      Karena pertalian kerabat semenda:

a.       Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya.
b.      Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
c.       Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya kecuali putus perkawinan dengan isterinya itu qabla al-dukhul.
d.      Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

3.      Karena pertalian susuan:

a.       Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
b.      Dengan seorang wanita yang sesusuan dan seterusnyan menurut garis lurus ke bawah.
c.       Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah.
d.      Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e.       Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Ketentuan pasal 39 KHI tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 22 yang berbunyi[2]:
  
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

Dan surat an-Nisa’ ayat 23:
   
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[3]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

B.     Larangan perkawinan dalam waktu tertentu

Larangan perkawinan dalam waktu tertentu bagi seorang pria dengan seorang wanita, diuangkapkan secara rinci dalam pasal 40 sampai 44 KHI. Hal ini diuraikan sebagaimana berikut[4]:



Pasal 40 KHI
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a.      Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan dengan yang pria lain.
b.      Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c.       Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41 KHI
1.      Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya:
a.    Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
b.    Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2.      Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42 KHI
Seorang pria melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terkait tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang di antara mereka masih terkait tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.
Pasal 43 KHI
1.      Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a.       Dengan seorang wanita bekas isterinya ditalak tiga kali
b.      Dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili’an.
2.      Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 KHI
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Selain larangan perkawinan dalam waktu terentu yang disebutkan dalam KHI dimaksud, perlu juga diungkapkan mengenai larangan perkawinan yang tertuang dalam pasal 8, 9, dan 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal itu diuangkapkan sebagai berikut.



Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1.    Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas.
2.    Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan seorang neneknya.
3.    Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
4.    Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
5.    Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
6.    Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 5 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Uraian di atas menunjukkan lebih mudah dipahami redaksi yang digunakan dalam Komplikasi Hukum Islam di Indonesia bila dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

II.      Pencegahan Dan Pembatalan Perkawinan

A.       Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum Islam yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melansungkan perkawinan berdasarkan hukum Islam yang termuat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melansungkan perkawinan. Demikian juga yang terungkap dalam Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana berikut:
Pasal 60
1.      Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkwinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
2.      Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melansungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan:
1.      Syarat materil
2.      Syarat administratif
Selain itu Pasal 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 menentukan:
1.      Setiap orang yang akan melansungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilansungkan.
2.      Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilansungkan.
3.      Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebutkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Selain itu, dapat juga dilihat pada Pasal 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 PP Nomor 9 Tahun 1975. Berdasarkan uraian yang di atas, menunjukkan bahwa, apabila ada pihak-pihak yang merasa keberatan dapat melakukan pencegahanan, agar tidak terjadi perkawinan yang dilansungkan pertentangan dengan hukum Islam dan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, menurut garis hukum yang tertuang dalam pasal 61 KHI “tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau iktilaful al-din”. Upaya pencegahan perkawinan tidak menimbulkan kerancuan sehingga baik Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam mengatur siapa-siapa yang berhak untuk mengajukan pencegahan perkawinan dimaksud.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:
1.      Yang dapat mencegah perkawinan keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2.      Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlansungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dalam perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Kompilasi Hukum Islam mempunyai prinsip untuk menguatkan apa yang ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Tambahan penjelasan Pasal 62 ayat (2) dikemukakan bahwa ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga memberi kesempatan kepada suami atau isteri yang masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan yang baru. Demikian juga ketentuan dalam Pasal 63 KHI. Hal ini bertujuan untuk mengatasi perkawinan atau poligami liar, yang dilakukan tanpa izin dari pengadilan atau dari isteri yang sudah ada.
Selanjutnya Pasal 16 UU Perkawinan Nomor I Tahun 1974 menegaskan:
1.      Pejabat yang ditunjuk, berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 undang-undang ini tidak dipenuhi.
2.      Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturana perundnag-undangan.
Selain rumusan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, juga diungkapkan rumusan Pasal 64 Kompilasi Hukum Islam. “Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan, berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi.” Oleh karena itu, pegawai pencatat nikah mempunyai tugas ganda, yaitu di satu pihak sebagai petugas yang ditunjuk untuk mencatat perkawinan dan di pihak lain bertugas untuk mengawasi terhadap adanya pelanggaran perkawinan antara calon mempelai atau tidak.
Apabila pegawai pencatat nikah berpendapat bahwa perkawinan akan dilaksanakan terdapat larangan menurut Undang-Undang Perkawinan, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Hal ini, diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 69 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam.
Adapun tata cara dan prosedur pengajuan pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 65 Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:



Pasal 17
1.      Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan agama dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
2.      Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini Pegawai Pencatat Nikah.
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam menyatakan:
Pasal 65
1.      Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
2.      Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Jika pegawai pencatat nikah melakukan pencegahan pelaksanaan perkawinan, maka ia memberikan surat keterangan tertulis disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tersebut, dapat dipahami bahwa tenggang waktu 10 hari adalah memberikan kesempatan kepada orang yang merasa terkait dalam kelangsungan perkawinan, agar mengajukan keberatan-keberatan jika dipandang rencana perkawinan calon mempelai terdapat larangan-larangan atau syarat dan rukun yang belum terpenuhi. Namun demikian, apabila pengajuan permohonan pencegahan perkawinan dipandang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, yaitu perkawinan yang akan dilangsungkan oleh calon mempelai memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan maka permohonan pencegahan dapat dicabut seperti yang ditegaskan pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 67 KHI.

B.       Pembatalan Perkawinan

Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan) apabila perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan kepengadilan. Didalam pasal 85 KUHPer berlaku asas pokok, bahwa tiada suatu perkawinan menjadi batal karena hukum. Pernyataan batal suatu perkawinan yang bertentangan dengan undang-undang disyaratkan adanya keputusan pengadilan, keputusan yang demikian hanya boleh dijatuhkan dalam hal-hal yang diatur oleh undang-undang dan atas gugatan orang-orang yang dinyatakan berwenang untuk itu.[5]
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami isteri sesudah dilangsungkan perkawinan, karena adanya syarat-syarat yang tidak dipenuh menurut pasal 22 Undang-Undang Pekawinan, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa perkawian dapat dibatalkan apabila para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syart perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan baik berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 atau berdasarkan KHI, yang terdapat dalam pasal 22,24,26, dan 27 UU No.1/1974 dan pasal 70 dan 71 KHI. Yang diungkapkan sebagai berikut:
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 26
1.      Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
2.      Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
1.      Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
2.      Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
3.      Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 70 KHI
Perkawinan batal apabila:
1.      Suami elakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.
2.      Seseorang yang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya.
3.      Seseorang menikahi isteri yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian cerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
4.      Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan susuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No.1/1974, yaitu:
a.       berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b.      berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.       berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d.      berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
5.      Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71 KHI
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.       Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama.
b.      Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (menghilang tanpa berita apakah masih hidup atau sudah meninggal)
c.       Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lainnya
d.      Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dlam pasal 7 UU No. 1/1974
e.       Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
f.        Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 UU No. 1 /1974 dan pasal 73 KHI, yaitu:
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a.       Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
b.      Suami atau isteri;
c.       Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d.      Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 73 KHI
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
a.       para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri.
b.      Suami atau isteri
c.       Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d.      para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Selain permohonan pembatalan perkawinan itu, pasal 74 KHI juga mengatut tata cara beracara dalam permohonan pembatalan perkawinan, dan mengatur awal waktu keberlakuan pembatalan perkawinan dimaksud.
Pasal 74 KHI:
1.      Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan
2.      Batasnya suatu perkawinan setelah putusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Walaupun sudah terjadi pembatalan perkawinan, mengenai anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut telah diatur dalam pasal 28 ayat 2 UU perkawinan dan dalam pasal 75 dan 76 KHI, yaitu:
Pasal 28:
2.      Keptusan tidak berlaku surut terhadap:
a.       Anak-anak yang dilahir dari perkawinan tersebut
b.      Suami atau isteri yang bertindak dengan beriktikat baik, kecuali harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas perkawinan lain yang lebih dahulu
c.       Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam poin a dan poin  b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikat baik sebelum keputusan pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 75 KHI
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap;
a.       Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami isteri murtad
b.      Anak-anak yang dilahirkan dari perkwinan tersebut
c.       Pihak ketiga sepanjang mareka memperoleh hak-hak dengan beriktikat baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 76 KHI
Batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum antara anak dan orang tuanya.



Uraian di atas tdak merinci secara teknis bagaimana seharusnya hubungan suami isteri yang perkawinannya diajukan pembatalan perkawinan, jadi selama dalam proses hendaknya antara suami isteri tidak melakukan hubungan badan terlebih dahulu, karena proses pembatalan tersebut tentu memakan waktu untuk mengajukan bukti-bukti di engadilan, menjadi alasan yang dapat menjadi dasar agar mereka tidak melakukan hubungan, karena dalam situasi yang demikian tentu suami dan isteri mengalami keraguan tentang status perkawinannya. Maka dalam situasi ragu tersebut, seseorang dianjurkan untuk tidak melakukan sesuatu sampai ia menjadi yakin, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. yang artinya:
Tinggalkan ssesuatu perbuatan yang meragukan, kepada sesuatu perbuatan yang tidak meragukan.” (HR. Ahmad)

III.   KESIMPULAN

Larangan perkawinan dalam hukum perkawinan Islam ada dua macam, yaitu larangan selama-lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan larangan sementara pasal 40 sampai pasal 44 KHI.
Supaya tidak terjadinya pelanggaran terhadap aturan di atas, maka perlu adanya pencegahan perkawinan, yang dilakukan oleh pihak suami atau isteri apabila ada syarat-syarat yang tidak dicukupi sebelum terjadinya perkawinan, sehingga erkawinan tersebut tidak jadi dilaksanakan.
Namun apabila telah terlaksananya perkawinan baru diketahui adanya larangan dalam perkawinan tersebut atau ada syarat-syarat yang tidak tercukupi, maka dilakukanlah pembatalan perkawinan, pembatalan ini bisa dilakukan oleh pihak suami atau isteri atau pihak lain yang memiliki hak untuk hal tersebut yang dilaksanakan di pengadilan tempat mereka tinggal atau di tempat mereka melngsungkan perkawinan.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddn, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika: cet Ke-2. 2007
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada: Cet.ke-6. 2003
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Kencana: cet.ke-2. 2010



[1] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika: 2007), cet Ke-2, hal.30-31
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada: 2003), Cet ke-6, hal.123
[3] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
[4] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika: 2007), cet Ke-2, hal.32
[5] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta, Kencana: 2010), cet.ke-2,hal.123