LARANGAN PERKAWINAN, PENCEGAHAN
DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
I.
Larangan Perkawinan
Larangan
perkawinan dalam hukum perkawinan Islam ada dua macam, yaitu larangan
selama-lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan larangan sementara pasal 40
sampai pasal 44 KHI. Hal itu akan diuraikan sebagai berikut:
A.
Larangan perkawinan
selama-lamanya
Larangan perkawinan bagi seorang pria dengan
seorang wanita selama-lamanya atau wanita-wanita yang haram dinikahi oleh
seorang pria selama-lamanya mempunyai beberapa sebab[1].
Pasal 39 KHI mengungkapkan larangan melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan wanita disebabkan:
1.
Karena
pertalian nasab:
a. Dengan seorang
wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
b. Dengan seorang
wanita keturunan ayah atau ibu.
c.
Dengan seorang wanita saudara yang
melahirkannnya.
2.
Karena
pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang
wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya.
b. Dengan seorang
wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
c. Dengan seorang
wanita keturunan isteri atau bekas isterinya kecuali putus perkawinan dengan isterinya
itu qabla al-dukhul.
d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3.
Karena
pertalian susuan:
a. Dengan wanita yang
menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
b. Dengan seorang wanita
yang sesusuan dan seterusnyan menurut garis lurus ke bawah.
c. Dengan seorang wanita
saudara sesusuan,
dan kemenakan sesusuan ke bawah.
d. Dengan seorang
wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e. Dengan anak
yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Ketentuan
pasal 39 KHI tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’
ayat 22 yang berbunyi[2]:
“Dan janganlah
kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa
yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Dan surat an-Nisa’ ayat
23:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[3];
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
B.
Larangan perkawinan dalam
waktu tertentu
Larangan perkawinan dalam waktu tertentu bagi
seorang pria dengan seorang wanita, diuangkapkan secara rinci dalam pasal 40
sampai 44 KHI. Hal ini diuraikan sebagaimana berikut[4]:
Pasal 40 KHI
Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu:
a.
Karena wanita yang bersangkutan masih terkait
satu perkawinan dengan yang pria lain.
b.
Seorang wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain.
c.
Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41 KHI
1.
Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan
seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya:
a.
Saudara kandung, seayah atau seibu serta
keturunannya.
b.
Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2.
Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku
meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42 KHI
Seorang pria
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang
mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terkait tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang di antara
mereka masih terkait tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak
raj’i.
Pasal 43 KHI
1. Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a.
Dengan seorang wanita bekas isterinya ditalak
tiga kali
b.
Dengan seorang wanita bekas isterinya yang
dili’an.
2.
Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur,
kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan
tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 KHI
Seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
Selain
larangan perkawinan dalam waktu terentu yang disebutkan dalam KHI dimaksud,
perlu juga diungkapkan mengenai larangan perkawinan yang tertuang dalam pasal
8, 9, dan 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal itu diuangkapkan sebagai
berikut.
Pasal 8
Perkawinan
dilarang antara dua orang yang:
1.
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke bawah maupun ke atas.
2.
Berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan seorang neneknya.
3.
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri,
menantu dan ibu/bapak tiri.
4.
Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan,
anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
5.
Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai
bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang.
6.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang
masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut pada pasal 5 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami
dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Uraian
di atas menunjukkan lebih mudah dipahami redaksi yang digunakan dalam
Komplikasi Hukum Islam di Indonesia bila dibandingkan dengan perundang-undangan
lainnya termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
II.
Pencegahan Dan Pembatalan
Perkawinan
A.
Pencegahan Perkawinan
Pencegahan
perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum Islam
yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau
calon isteri yang akan melansungkan perkawinan berdasarkan hukum Islam yang
termuat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan dapat
dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melansungkan
perkawinan. Demikian juga yang terungkap dalam Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam
sebagaimana berikut:
Pasal 60
1.
Pencegahan perkawinan bertujuan untuk
menghindari suatu perkwinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan.
2.
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila
calon suami atau calon isteri yang akan melansungkan perkawinan menurut hukum
Islam dan peraturan perundang-undangan.
Pencegahan
perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan:
1.
Syarat materil
2.
Syarat administratif
Selain
itu Pasal 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 menentukan:
1.
Setiap orang yang akan melansungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan
akan dilansungkan.
2.
Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan
sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilansungkan.
3.
Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat
(2) disebutkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama
Bupati Kepala Daerah.
Selain
itu, dapat juga dilihat pada Pasal 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Berdasarkan uraian yang di atas, menunjukkan bahwa, apabila ada pihak-pihak
yang merasa keberatan dapat melakukan pencegahanan, agar tidak terjadi
perkawinan yang dilansungkan pertentangan dengan hukum Islam dan
perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, menurut garis hukum yang
tertuang dalam pasal 61 KHI “tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk
mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama
atau iktilaful al-din”. Upaya pencegahan perkawinan tidak menimbulkan
kerancuan sehingga baik Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum
Islam mengatur siapa-siapa yang berhak untuk mengajukan pencegahan
perkawinan dimaksud.
Pasal
14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:
1. Yang dapat
mencegah perkawinan keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah,
saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan
pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Mereka yang
tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlansungnya perkawinan
apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga
dalam perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon
mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti
tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Kompilasi
Hukum Islam mempunyai prinsip untuk menguatkan apa yang ditegaskan dalam
Undang-Undang Perkawinan tersebut. Tambahan penjelasan Pasal 62 ayat (2)
dikemukakan bahwa ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai
kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan
dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal
15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga memberi kesempatan kepada suami atau isteri
yang masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak yang akan
melangsungkan perkawinan yang baru. Demikian juga ketentuan dalam Pasal 63 KHI.
Hal ini bertujuan untuk mengatasi perkawinan atau poligami liar, yang dilakukan
tanpa izin dari pengadilan atau dari isteri yang sudah ada.
Selanjutnya
Pasal 16 UU Perkawinan Nomor I Tahun 1974 menegaskan:
1.
Pejabat yang ditunjuk, berkewajiban mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1),
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 undang-undang ini tidak dipenuhi.
2.
Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana
tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturana
perundnag-undangan.
Selain
rumusan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, juga diungkapkan
rumusan Pasal 64 Kompilasi Hukum Islam. “Pejabat yang ditunjuk untuk
mengawasi perkawinan, berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat
perkawinan tidak dipenuhi.” Oleh karena itu, pegawai pencatat nikah
mempunyai tugas ganda, yaitu di satu pihak sebagai petugas yang ditunjuk untuk
mencatat perkawinan dan di pihak lain bertugas untuk mengawasi terhadap adanya
pelanggaran perkawinan antara calon mempelai atau tidak.
Apabila
pegawai pencatat nikah berpendapat bahwa perkawinan akan dilaksanakan terdapat
larangan menurut Undang-Undang Perkawinan, maka ia akan menolak melangsungkan
perkawinan. Hal ini, diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 dan Pasal 69 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam.
Adapun
tata cara dan prosedur pengajuan pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 17
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 65 Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:
Pasal 17
1.
Pencegahan perkawinan diajukan kepada
pengadilan agama dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan
dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
2.
Kepada calon-calon mempelai diberitahukan
mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
Pegawai Pencatat Nikah.
Sedangkan
Kompilasi Hukum Islam menyatakan:
Pasal 65
1.
Pencegahan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan
dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
2.
Kepada calon-calon mempelai diberitahukan
mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
Jika
pegawai pencatat nikah melakukan pencegahan pelaksanaan perkawinan, maka ia
memberikan surat keterangan tertulis disertai dengan alasan-alasan
penolakannya.
Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tersebut, dapat
dipahami bahwa tenggang waktu 10 hari adalah memberikan kesempatan kepada orang
yang merasa terkait dalam kelangsungan perkawinan, agar mengajukan
keberatan-keberatan jika dipandang rencana perkawinan calon mempelai terdapat
larangan-larangan atau syarat dan rukun yang belum terpenuhi. Namun demikian,
apabila pengajuan permohonan pencegahan perkawinan dipandang tidak sesuai
dengan fakta yang sebenarnya, yaitu perkawinan yang akan dilangsungkan oleh
calon mempelai memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan maka permohonan
pencegahan dapat dicabut seperti yang ditegaskan pada Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 67 KHI.
B.
Pembatalan Perkawinan
Pada
dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan) apabila perkawinan itu
tidak memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan kepengadilan. Didalam pasal 85
KUHPer berlaku asas pokok, bahwa tiada suatu perkawinan menjadi batal karena
hukum. Pernyataan batal suatu perkawinan yang bertentangan dengan undang-undang
disyaratkan adanya keputusan pengadilan, keputusan yang demikian hanya boleh
dijatuhkan dalam hal-hal yang diatur oleh undang-undang dan atas gugatan
orang-orang yang dinyatakan berwenang untuk itu.[5]
Pembatalan
perkawinan adalah pembatalan hubungan suami isteri sesudah dilangsungkan
perkawinan, karena adanya syarat-syarat yang tidak dipenuh menurut pasal 22 Undang-Undang
Pekawinan, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa perkawian dapat dibatalkan
apabila para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syart perkawinan. Perkawinan
dapat dibatalkan baik berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 atau berdasarkan KHI,
yang terdapat dalam pasal 22,24,26, dan 27 UU No.1/1974 dan pasal 70 dan 71
KHI. Yang diungkapkan sebagai berikut:
Pasal 22
Perkawinan
dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal 24
Barang siapa
karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 26
1.
Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami
atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
2.
Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri
berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup
bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang
dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
1.
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah
ancaman yang melanggar hukum.
2.
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan
terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
3.
Apabila ancaman telah berhenti, atau yang
bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 70 KHI
Perkawinan batal apabila:
1.
Suami elakukan perkawinan, sedang ia tidak
berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri,
sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.
2.
Seseorang yang menikahi bekas isterinya yang
telah dili’annya.
3.
Seseorang menikahi isteri yang telah dijatuhi
tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah
dengan pria lain yang kemudian cerai lagi ba’da dukhul dari
pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
4.
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang
mempunyai hubungan darah, semenda, dan susuan sampai derajat tertentu yang
menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No.1/1974, yaitu:
a.
berhubungan darah dalam garis keturunan lurus
kebawah ataupun keatas;
b.
berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya;
c.
berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri
menantu dan ibu/bapak tiri;
d.
berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan,
anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
5.
Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi
atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71 KHI
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.
Seorang suami melakukan poligami tanpa izin
pengadilan agama.
b.
Perempuan yang dikawini ternyata kemudian
diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (menghilang tanpa berita
apakah masih hidup atau sudah meninggal)
c.
Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam
masa iddah dari suami lainnya
d.
Perkawinan yang melanggar batas umur
perkawinan, sebagaimana ditetapkan dlam pasal 7 UU No. 1/1974
e.
Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau
dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
f.
Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Orang
yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 UU No.
1 /1974 dan pasal 73 KHI, yaitu:
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan
yaitu:
a.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas dari suami atau isteri;
b.
Suami atau isteri;
c.
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan
belum diputuskan;
d.
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal
16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu
putus.
Pasal 73 KHI
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan adalah:
a.
para keluarga dalam garis keturunan lurus ke
atas dan ke bawah dari suami atauisteri.
b.
Suami atau isteri
c.
Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan
menurut Undang-undang.
d.
para pihak yang berkepentingan yang mengetahui
adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Selain
permohonan pembatalan perkawinan itu, pasal 74 KHI juga mengatut tata cara
beracara dalam permohonan pembatalan perkawinan, dan mengatur awal waktu
keberlakuan pembatalan perkawinan dimaksud.
Pasal 74 KHI:
1.
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan
kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau
tempat perkawinan dilangsungkan
2.
Batasnya suatu perkawinan setelah putusan
pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Walaupun
sudah terjadi pembatalan perkawinan, mengenai anak-anak yang lahir dari
perkawinan tersebut telah diatur dalam pasal 28 ayat 2 UU perkawinan dan dalam
pasal 75 dan 76 KHI, yaitu:
Pasal 28:
2.
Keptusan tidak berlaku surut terhadap:
a.
Anak-anak yang dilahir dari perkawinan tersebut
b.
Suami atau isteri yang bertindak dengan
beriktikat baik, kecuali harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan
atas perkawinan lain yang lebih dahulu
c.
Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam
poin a dan poin b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikat baik
sebelum keputusan pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 75 KHI
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku
surut terhadap;
a.
Perkawinan yang batal karena salah satu dari
suami isteri murtad
b.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkwinan
tersebut
c.
Pihak ketiga sepanjang mareka memperoleh
hak-hak dengan beriktikat baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 76 KHI
Batalnya suatu
perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum antara anak dan orang tuanya.
Uraian
di atas tdak merinci secara teknis bagaimana seharusnya hubungan suami isteri
yang perkawinannya diajukan pembatalan perkawinan, jadi selama dalam proses
hendaknya antara suami isteri tidak melakukan hubungan badan terlebih dahulu,
karena proses pembatalan tersebut tentu memakan waktu untuk mengajukan
bukti-bukti di engadilan, menjadi alasan yang dapat menjadi dasar agar mereka
tidak melakukan hubungan, karena dalam situasi yang demikian tentu suami dan isteri
mengalami keraguan tentang status perkawinannya. Maka dalam situasi ragu
tersebut, seseorang dianjurkan untuk tidak melakukan sesuatu sampai ia menjadi
yakin, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. yang artinya:
“Tinggalkan ssesuatu
perbuatan yang meragukan, kepada sesuatu perbuatan yang tidak meragukan.” (HR.
Ahmad)
III.
KESIMPULAN
Larangan
perkawinan dalam hukum perkawinan Islam ada dua macam, yaitu larangan
selama-lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan larangan sementara pasal 40
sampai pasal 44 KHI.
Supaya
tidak terjadinya pelanggaran terhadap aturan di atas, maka perlu adanya
pencegahan perkawinan, yang dilakukan oleh pihak suami atau isteri apabila ada
syarat-syarat yang tidak dicukupi sebelum terjadinya perkawinan, sehingga
erkawinan tersebut tidak jadi dilaksanakan.
Namun
apabila telah terlaksananya perkawinan baru diketahui adanya larangan dalam
perkawinan tersebut atau ada syarat-syarat yang tidak tercukupi, maka
dilakukanlah pembatalan perkawinan, pembatalan ini bisa dilakukan oleh pihak
suami atau isteri atau pihak lain yang memiliki hak untuk hal tersebut yang
dilaksanakan di pengadilan tempat mereka tinggal atau di tempat mereka
melngsungkan perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Zainuddn, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika: cet
Ke-2. 2007
Rofiq,
Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada: Cet.ke-6. 2003
Tutik,
Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta,
Kencana: cet.ke-2. 2010
[1] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika: 2007), cet Ke-2, hal.30-31
[2]
Ahmad
Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada: 2003), Cet ke-6, hal.123
[3] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang
dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan
seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud
dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama
termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
[4] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika: 2007), cet Ke-2, hal.32
[5]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata
Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta, Kencana: 2010), cet.ke-2,hal.123