Arsip Blog

Jumat, 11 Maret 2016

Makalah Al-'Urf

 AL-‘URF

A.    PENGERTIAN AL-URF  (ADAT ISTIADAT)
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Al-urf (adat istiadat) yaitu sesuatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akal mereka[1].
Menurut Abdul-Karim Zaidan, secara terminologi istilah ‘urf  berarti “Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.”[2]
Menurut Ulama’ ‘Usuliyyin Urf adalah “Apa yang bisa dimengerti oleh manusia (sekelompok manusia) dan mereka jalankan, baik berupa perbuatan, perkataan, atau meninggalkan”.[3]
Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwaAl-Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan, dan disebut juga adat. Menurut istilahahli syara’, tidak ada perbedaan antara al-urf dan adat istiadat.[4]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Adat harus terbentuk dari sebuah perbuatan yang sering dilakukan orang banyak (masyarakat) dengan berbagai latar belakang dan golongan secara terus menerus, dan dengan kebiasaan ini, ia menjadi sebuah tradisi dan diterima oleh akal pikiran mereka. Dengan kata lain, kebiasaan tersebut merupakan adat kolektif dan lebih khusus dari hanya sekedar adat biasa karena adat dapat berupa adat individu dan adat kolektif (keseluruhan).
2.      Adat berbeda dengan Ijma’. Adat kebiasaan lahir dari sebuah kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang yang terdiri dari berbagai status sosial, sedangkan Ijma’ harus lahir dari kesepakatan para ulama mujtahid secara khusus dan bukan orang awam. Karena adat istiadat berbeda dengan ijma’, maka legalitas adat terbatas pada orang-orang yang memang sudah terbiasa dengan hal itu, dan tidak menyebar kepada orang lain yang tidak pernah melakukan hal tersebut, baik yang hidup satu jaman dengan mereka atau tidak. Adapun ijma’ menjadi hujjah kepada semua orang dengan berbagai golongan yang ada pada jaman itu atau sesudahnya sampai hari ini.
3.      Adat terbagi menjadi dua kategori; ucapan dan perbuatan. Adat berupa ucapan misalnya adalah penggunaan kata walad hanya untuk anak laki-laki, padahal secara bahasa mencakup anak laki-laki dan perempuan dan inilah bahasa yang digunakan Alquran,
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِى اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ.
Allah mensyari’atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’[4] : 11).
Sedangkan adat berupa perbuatan adalah setiap perbuatan yang sudah biasa dilakukan orang, seperti dalam hal jual beli, mereka cukup dengan caramu’athah (Take and Give) tanpa ada ucapan, juga kebiasaan orang mendahulukan sebagian mahar dan menunda sisanya sampai waktu yang disepakati.[5]
B.     MACAM-MACAM AL-URF
Al-Urf  (adat) itu ada dua macam : Adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak meghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban.Seperti adat meminta pekerjaan, adat membagi mas kawin menjadi dua; didahulukan dan diakhirkan, adat seorang istri tidak berbulan madu kecuali telah menerima sebagian mas kawin dari suaminya.
Sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan dengan syara’, menghalalkan yang haram, atau membatalkan kewajiban.Seperti banyak kebiasaan mungkar pada saat menghadapi kelahiran, ditempat kematian, serta kebiasaan memakan barang riba dan akad perjudian.[6]
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada  tiga macam :
1.      Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada :al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a.       Al-‘Urf al-Lafzhi.
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging 1 kg”, pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b.      Al-‘urf al-‘amali.
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam jual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.[7]
2.   Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
a.       al-Urf al-‘Am (Adat kebiasaan umum)
yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negri di satu masa. Contoh adat yang berlaku di beberapa negri dalam memakai ungkapan “engkau telah haram aku gauli” kepada istrinya sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak istrinya itu, dan kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air yang digunakan.
b.      al-Urf al-Khash (Adat kebiasaan khusus)
yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat negri tertentu. misalnya, kebiasaan masyarakat Irak dalam menggunakan kata al-dabbah hanya kepada kuda, dan menganggap catatan jual beli yang berada pada pihak penjual sebagai bukti yang sah dalam masalah utang piutang.[8]
3.      Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al-’urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
a.        Al-‘urf al-Shahih. (kebiasaan yang dianggap sah)
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa madharat kepada mereka.
Contoh: dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b.        Al-‘urf al-fasid.(kebiasaan yang dianggap rusak)
Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Contoh: kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di jaman jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan Riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang).Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul fiqh termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.[9]
C.    KESIMPULAN
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hukum-hukum yang di dasarkan kepada ‘urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada jaman tertentu dan tempat tertentu.Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti perubahan ‘urf tersebut. Dalam konteks ini, berlaku kaidah yang menyebutkan :
اَلْحُكْمُ يَتَغَيَّرُ بِتَغْيِيْرِ الْأَزْمِنَةِ وَالْأَمْكِنَةِ وَالْأحْوَالِ وَالْأَشْخَاصِ وَالْبَيْئَاتِ.
“Ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan perubahan lingkungan”.
Karakteristik hukum Islam adalah Kulli (universal) dan waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.
Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.
Tujuan utama syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia – sebagaimana di kemukakan as-Syatibi– akan teralisir dengan konsep tersebut. Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqh salah satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar Alqurandan as-Sunnah.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995
Anhari, Masykur, Ushul Fiqh, Surabaya : Diantama, 2008, cet I
Bisri, M. Adib.Risalah Qawa’id Fiqh, Kudus : Menara Kudus, 1997
Dahlan, Abd.Rahman. Ushul Fiqih, Jakarta : AMZAH, 2010
Effendi, Satria, UshulFiqh, Jakarta : Kencana, Ed.I. Cet.I, 2005
Haroen, Nasroen. Ushul Fiqih, Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1995
Khalaf, Abdul Wahab.Ilmu Ushul Fiqh dalam Kaidah Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2003
Khalil, Rasyad Hasan,TarikhTasyri’, Jakarta : Amzah, 2009, cet.I
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia,2007
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh II, Surabaya: Al-Hidayah, 2002


[1]Rasyad Hasan Khalil, TarikhTasyri’, (Jakarta : Amzah, 2009), cet.I,  h. 167
[2]Satria Effendi, M.Zein, UshulFiqh, (Jakarta : Kencana, 2005) , Ed.I. Cet.I, h.153
[3]Masykur Anhari, Ushul Fiqh, (Surabaya : Diantama, 2008), cet I, h.110
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh dalam Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2003), h.117
[5]Rasyad Hasan Khalil, TarikhTasyri’, (Jakarta : Amzah, 2009), cet.I,h. 168
[6]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh dalam Kaidah Hukum Islam ,(Jakarta, Sinar Grafika, 2003), h. 117-118
[7]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, (Surabaya: Al-Hidayah, 2002), h. 122
[8]Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta : AMZAH, 2010), h. 154
[9]Ibid, hal : 156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar