AL-‘URF
A. PENGERTIAN AL-URF (ADAT ISTIADAT)
Kata ‘Urf
secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh
akal sehat”. Al-urf (adat istiadat) yaitu sesuatu yang sudah
diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau perbuatan yang sudah
berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akal mereka[1].
Menurut Abdul-Karim Zaidan, secara terminologi istilah ‘urf
berarti “Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah
menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan
atau perkataan.”[2]
Menurut
Ulama’ ‘Usuliyyin Urf adalah “Apa yang bisa dimengerti oleh manusia
(sekelompok manusia) dan mereka jalankan, baik berupa perbuatan, perkataan,
atau meninggalkan”.[3]
Abdul Wahhab
Khallaf menyatakan bahwaAl-Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan
menjadi tradisinya, baik ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan, dan
disebut juga adat. Menurut istilahahli syara’, tidak ada perbedaan
antara al-urf dan adat istiadat.[4]
Dari
beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Adat harus
terbentuk dari sebuah perbuatan yang sering dilakukan orang banyak (masyarakat)
dengan berbagai latar belakang dan golongan secara terus menerus, dan dengan
kebiasaan ini, ia menjadi sebuah tradisi dan diterima oleh akal pikiran mereka.
Dengan kata lain, kebiasaan tersebut merupakan adat kolektif dan lebih khusus
dari hanya sekedar adat biasa karena adat dapat berupa adat individu dan adat
kolektif (keseluruhan).
2. Adat berbeda
dengan Ijma’. Adat kebiasaan lahir dari sebuah kebiasaan yang sering dilakukan
oleh orang yang terdiri dari berbagai status sosial, sedangkan Ijma’ harus
lahir dari kesepakatan para ulama mujtahid secara khusus dan bukan orang awam.
Karena adat istiadat berbeda dengan ijma’, maka legalitas adat terbatas pada
orang-orang yang memang sudah terbiasa dengan hal itu, dan tidak menyebar
kepada orang lain yang tidak pernah melakukan hal tersebut, baik yang hidup
satu jaman dengan mereka atau tidak. Adapun ijma’ menjadi hujjah kepada
semua orang dengan berbagai golongan yang ada pada jaman itu atau sesudahnya
sampai hari ini.
3.
Adat terbagi menjadi dua kategori; ucapan
dan perbuatan. Adat berupa ucapan misalnya adalah penggunaan kata walad
hanya untuk anak laki-laki, padahal secara bahasa mencakup anak laki-laki dan
perempuan dan inilah bahasa yang digunakan Alquran,
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِى اَوْلَادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ.
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’[4] : 11).
Sedangkan
adat berupa perbuatan adalah setiap perbuatan yang sudah biasa dilakukan orang,
seperti dalam hal jual beli, mereka cukup dengan caramu’athah (Take
and Give) tanpa ada ucapan, juga kebiasaan orang mendahulukan sebagian
mahar dan menunda sisanya sampai waktu yang disepakati.[5]
B. MACAM-MACAM AL-URF
Al-Urf
(adat) itu ada dua macam : Adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang benar
adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil
syara’, tidak meghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban.Seperti adat
meminta pekerjaan, adat membagi mas kawin menjadi dua; didahulukan dan diakhirkan,
adat seorang istri tidak berbulan madu kecuali telah menerima sebagian mas
kawin dari suaminya.
Sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia
tetapi bertentangan dengan dengan syara’, menghalalkan yang haram, atau
membatalkan kewajiban.Seperti banyak kebiasaan mungkar pada saat menghadapi
kelahiran, ditempat kematian, serta kebiasaan memakan barang riba dan akad
perjudian.[6]
Para Ulama
Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam :
1.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada :al-‘urf al-lafzhi
(kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan
yang berbentuk perbuatan).
a.
Al-‘Urf al-Lafzhi.
Adalah
kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat.Misalnya ungkapan “daging” yang berarti
daging sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada.
Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu
memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging 1 kg”,
pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat
setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b. Al-‘urf
al-‘amali.
Adalah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah
keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain,
seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu,
kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan
kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang
berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam melakukan
akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam jual
beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh
penjualnya apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es
dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.[7]
2. Dari segi
cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am
(kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang
bersifat khusus).
a.
al-Urf al-‘Am (Adat
kebiasaan umum)
yaitu adat
kebiasaan mayoritas dari berbagai negri di satu masa. Contoh adat yang berlaku
di beberapa negri dalam memakai ungkapan “engkau telah haram aku gauli”
kepada istrinya sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak istrinya itu, dan
kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa menentukan secara
pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air yang digunakan.
b.
al-Urf al-Khash (Adat
kebiasaan khusus)
yaitu adat
istiadat yang berlaku pada masyarakat negri tertentu. misalnya, kebiasaan
masyarakat Irak dalam menggunakan kata al-dabbah hanya kepada kuda, dan
menganggap catatan jual beli yang berada pada pihak penjual sebagai bukti yang sah
dalam masalah utang piutang.[8]
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi
dua; yaitu al-’urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf
al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
a.
Al-‘urf
al-Shahih. (kebiasaan yang dianggap sah)
Adalah
kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan
dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahtan mereka, dan
tidak pula membawa madharat kepada mereka.
Contoh:
dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita
dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b.
Al-‘urf
al-fasid.(kebiasaan yang dianggap rusak)
Adalah
kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar
yang ada dalam syara’.
Contoh:
kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti
peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta
rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah
apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi
keuntungan yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan,
karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin
melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan
yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang
sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan dan praktik seperti ini
adalah praktik peminjaman yang berlaku di jaman jahiliyah, yang dikenal dengan
sebutan Riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang).Oleh
sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul fiqh termasuk dalam
kategori al-‘urf al-fasid.[9]
C. KESIMPULAN
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hukum-hukum yang di dasarkan kepada
‘urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada jaman tertentu dan
tempat tertentu.Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah
mengikuti perubahan ‘urf tersebut. Dalam konteks ini, berlaku kaidah
yang menyebutkan :
اَلْحُكْمُ يَتَغَيَّرُ
بِتَغْيِيْرِ الْأَزْمِنَةِ وَالْأَمْكِنَةِ وَالْأحْوَالِ وَالْأَشْخَاصِ وَالْبَيْئَاتِ.
“Ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan waktu, tempat,
keadaan, individu, dan perubahan lingkungan”.
Karakteristik hukum Islam adalah Kulli (universal) dan waqiyah
(kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat
memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai
objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan
selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu
ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap
tradisi, kondisi, dan kultural setempat.
Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang
tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan
respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.
Tujuan utama syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk
kemaslahatan manusia – sebagaimana di kemukakan as-Syatibi– akan teralisir dengan
konsep tersebut. Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam dapat akrab, membumi,
dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus
meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam
problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqh salah
satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih
rinci tanpa melanggar Alqurandan as-Sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995
Anhari, Masykur, Ushul Fiqh, Surabaya
: Diantama, 2008, cet I
Bisri, M. Adib.Risalah Qawa’id Fiqh, Kudus : Menara Kudus, 1997
Dahlan, Abd.Rahman. Ushul Fiqih, Jakarta : AMZAH, 2010
Effendi, Satria, UshulFiqh, Jakarta : Kencana, Ed.I. Cet.I, 2005
Haroen, Nasroen. Ushul Fiqih, Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu,
1995
Khalaf, Abdul Wahab.Ilmu Ushul Fiqh dalam Kaidah Hukum Islam, Jakarta,
Sinar Grafika, 2003
Khalil, Rasyad Hasan,TarikhTasyri’, Jakarta : Amzah, 2009, cet.I
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul
Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia,2007
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh II,
Surabaya: Al-Hidayah, 2002
[6]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul
Fiqh dalam Kaidah Hukum Islam ,(Jakarta,
Sinar Grafika, 2003), h. 117-118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar